04. RANGKUMAN PERISTIWA KARATON PAJANG.
Pelantikan Raja Baru di Keraton Pajang – Kamis 26/05/2011
Copy Paste dari Web = www.wonosari.com ( Kandngan isi asli dari Web Sumber ).
Di sebuah kampung kecil di Tegal Kuniran, RT 3 RW XXVI, Jebres, Solo, pria yang
membuat gempar Solo dalam sepekan ini tinggal. Kamis (26/05/2011) malam lalu, pria berusia 57 ini mendadak menjadi
raja baru di Solo, yang takhtanya di Keraton Kasultanan Pajang.
Pria itu bernama Suradi. Dan setelah Jumenengan Kamis malam itu, Suradi resmi menjadi Raja Kasultanan Pajang dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro. Jumenengan yang menobatkan dirinya sebagai raja baru yang lain di Solo itu membuat kaget publik. Pasalnya, Kerajaan Pajang selama ini dianggap sudah tamat riwayatnya, namun mendadak muncul raja baru yang bertakhta di kerajaan buatan Jaka Tingkir.
Reaksi pun bermunculan. Pesona Sang Adipati Dinasti Jaka Tingkir itu, telah ”menyihir” publik, bahkan juga membuat para kerabat Keraton Surakarta dan Sejarawan Solo kaget. Suradi pun sejatinya, juga ditentang kerabatnya, ketika didaulat menjadi raja dinasti Jaka Tingkir itu.
”Awalnya anak saya yang pertama, laki-laki agak berontak melihat saya dinobatkan menjadi raja, tetapi akhirnya melunak juga,” kata Suradi. Pada Jumenengan itu, Suradi disahkan menjadi Raja Pajang oleh Duli Yang Maha Mulia Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo, pria yang mengklaim sebagai Sultan Demak.
Pria itu bernama Suradi. Dan setelah Jumenengan Kamis malam itu, Suradi resmi menjadi Raja Kasultanan Pajang dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro. Jumenengan yang menobatkan dirinya sebagai raja baru yang lain di Solo itu membuat kaget publik. Pasalnya, Kerajaan Pajang selama ini dianggap sudah tamat riwayatnya, namun mendadak muncul raja baru yang bertakhta di kerajaan buatan Jaka Tingkir.
Reaksi pun bermunculan. Pesona Sang Adipati Dinasti Jaka Tingkir itu, telah ”menyihir” publik, bahkan juga membuat para kerabat Keraton Surakarta dan Sejarawan Solo kaget. Suradi pun sejatinya, juga ditentang kerabatnya, ketika didaulat menjadi raja dinasti Jaka Tingkir itu.
”Awalnya anak saya yang pertama, laki-laki agak berontak melihat saya dinobatkan menjadi raja, tetapi akhirnya melunak juga,” kata Suradi. Pada Jumenengan itu, Suradi disahkan menjadi Raja Pajang oleh Duli Yang Maha Mulia Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo, pria yang mengklaim sebagai Sultan Demak.
Suradi pun, awalnya juga gamang ketika ditunjuk sang Sultan Demak itu sebagai Adipati. Sosok Suradi memang cukup misterius. Sebelum menjadi Raja Pajang, dia menjalani meditasi yang akhirnya mendapat keyakinan dari mata batinnya, bahwa, pengangkatannya sebagai Raja Pajang sudah takdir. ”Semua sudah diatur Yang di Atas, mas,” ujarnya.
Dia menceritakan, sebelum ditunjuk sebagai Adipati, istrinya sakit stroke. Suradi kala itu, sering meditasi. Dalam ritual itu, dia mengaku pernah melihat dirinya seperti di awang-awang. ”Ada yang datang seperti Gatotkaca diiringi sembilan orang yang membawa saya ke awang-awang. Kemudian memerintahkan untuk melihat ke bawah,” ujarnya.”Tontonen alam donyo kui,” katanya menirukan perintah sesosok yang muncul dalam meditasinya.
Masih dalam meditasi itu, Suradi, setelah diperintah melihat ke bawah, dia menjawab; ” Indah sekali.” Kemudian dia diturunkan di dekat Pegunungan antara Merapi dan Merbabu.
Kini pria yang gemar meditasi itu resmi menjadi Raja Pajang. Tapi, Sang Adipati itu hanya mau dipanggil Kanjeng Adipati, dalam forum-forum tertentu, seperti pertemuan dengan raja-raja lain di wilayah Nusantara. ”Tetapi panggil Suradi saja,” pintanya.
Di saat Jumenengan, Suradi, sudah berpesan, agar peresmian Kasultanan Pajang dan penobatan dirinya sebagai raja tidak ditentang. Menurutnya, apa yang dilakukannya bukan sebagai upaya untuk mendirikan negara baru dan melepaskan diri dari NKRI. ”Jadi sudah seharusnya tidak ada yang menentang,” katanya. Tujuan lain munculnya Suradi sebagai Raja Pajang, dalam Jumenengan itu juga untuk menghidupkan kembali situs cagar budaya Keraton Pajang.
Dianggap Aneh
Lain niat Suradi, lain pula respons pihak Keraton Surakarta dan Sejarawan Solo. Humas Keraton Surakarta Kubu Tedjowulan, KRH Bambang Pradoto Nagoro, kepada Joglosemar, mempertanyakan upaya menghidupkan kembali Kerajaan Pajang itu. ”Lha wong Solo saja belum selesai dengan ratunya, ini malah ada lagi,” katanya.
Menurutnya, fakta sejarah menyatakan, bahwa, Keraton Pajang sudah lama hilang, karena sudah tidak ada generasi penerus setelah Pangeran Benawa yang tidak mempunyai putra mahkota. Sejak itu, Pajang runtuh. ”Sekarang tiba-tiba muncul. Ada apa gerangan ini,” ujarnya.
Secara pribadi, Bambang tidak ada masalah dengan pengangkatan Raja Pajang itu, kalau bertujuan menjaga dan merawat petilasan Keraton Pajang. Tetapi jika ingin kembali menghidupkan Keraton Pajang, Bambang risau. Dia mempertanyakan, sosok DYMM (Duli Yang Maha Mulia) yang disandang Sultan Demak, pelantik Suradi. Menurut Bambang tidak ada Sultan di Jawa yang memakai gelar itu. ”Itu gelar dari mana. Kalau di daerah Sumatra Utara mungkin saja. Tetapi di Jawa sepertinya tidak ada,” kata Bambang.
Bambang mengaku di udang pihak Suradi saat ruwatan pekan lalu. ”Tetapi saya tidak hadir. Saya juga heran di undangan disebutkan, bahwa acara itu sebagai ruwatan dan syukuran, lha ini kok malah ada Jumenengan segala,” ujar Bambang.
”Itu yang saya baca dari koran, dan anehnya di dalam undangan tersebut juga dimasukkan kuitansi, saya juga tidak tahu maksudnya apa. Mungkin untuk membantu menyokong Keraton Pajang, mungkin.”
Situs Pajang
Petinggi Sasana Wilapa Keraton Surakarta, kubu Hangabehi, KRAT Winarna Kusuma, mengaku belum mendengar dan mengetahui jika ada pelantikan Adipati oleh Kasultanan Demak tersebut. ”Sudah tidak ada kaitannya antara Keraton Solo dengan Pajang,” ujarnya.
Menurutnya, setelah Indonesia merdeka, hanya terdapat dua kerajaan di Pulau Jawa yaitu Solo dan Yogyakarta. Sementara Kasultanan hanya ada di Cirebon, dan Kadipaten hanya ada di Mangkunegaran dan Paku Alam. ”Jika Pajang sebuah kerajaan harusnya diakui oleh Forum Komunikasi Keraton se-Nusantara yang biasa bertemu dua tahun sekali, itu setahu saya,” katanya.
Menurutnya, pelantikan Adipati Pajang yang baru itu justru aneh. Alasannya bisa bahaya kalau semua minta diakui pemerintah. ”Syarat sebuah eksistensi kerajaan itu selain adanya raja, bangunan, kawula juga harus masih menjunjung tinggi adat istiadat dengan menggelar upacara-upacara adat yang rutin dilakukan,” katanya.
Sejarawan Solo, Sudarmono, mengatakan, secara analogi, silsilah Kerajaan Pajang sudah lama terputus. Kerajaan Pajang hanya mampu bertahan dalam satu dinasti, yaitu selama masa kepemimpinan Jaka Tingkir. Sejak runtuh tahun 1587, Pajang tidak memiliki raja yang menggantikan.
Pengukuhan Kanjeng Raden Adipati Suropati Suradi Joyo Negoro sebagai Raja Pajang itu pun ditanggapinya dengan sinis. Menurutnya pengukuhan seorang penerus kerajaan haruslah melalui bukti silsilah yang runtut. Selain itu pengangkatan seorang raja juga harus diakui oleh Dewan Kasentanan.
Penggunaan dasar spiritual sebagai landasan pengangkatan seorang raja hanyalah sebagai pelarian dan tidak dapat diakui secara sejarah. ”Kalau tidak bisa menunjukkan bukti silsilahnya maka itu bukanlah sejarah. Itu namanya dongeng,” ujarnya.
Sudarmono menambahkan, sangat sulit bila ingin menghubungkan antara sejarah Raja Pajang yang pertama dengan yang baru. Karena ada selisih waktu hampir 500 tahun yang memisahkan. ”Akan sangat sulit untuk mencari buktinya, tapi bukan berarti tidak mungkin,” katanya.
Meski tidak ingin mengakui pengangkatan Adipati Suropati Suradi Joyo Negoro tersebut sebagai Raja Pajang, Sudarmono tidak serta-merta menentang. Menurutnya pengangkatan tersebut sah-sah saja asalkan tujuannya adalah untuk kembali melestarikan situs Kerajaan Pajang.
”Dulu pemerintah Belanda sempat mengadakan penggalian untuk mencari situs Kerajaan Pajang, tapi yang berhasil ditemukan baru sebatas tembok luar kerajaan saja, kalau tentang cakupan wilayah saya rasa sampai sekarang juga belum ada yang bisa memastikan,” kata Sudarmono.
”Kalau untuk penggalian kembali situs Pajang, saya sangat mendukung. Semoga saja pengangkatan raja itu bukan untuk tujuan sensasi semata.”
Jumenengan Kanjeng Raden Adipati Pajang 1 – Kamis 26/05/2011
Dengan pakaian kebesaran warna hitam, pria yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro, Kamis (26/05/2011) tampak khidmat mengikuti ritual jumenengan, seperti halnya yang dijalani raja-raja di Solo.
Sang Adipati itu resmi dikukuhkan sebagai pemimpin Kasultanan Pajang, yang sekian abad kerajaan yang didirikan Jaka Tingkir itu tidak mempunyai raja. Adipati Suradi sebelum dikukuhkan sebagai pemimpin Kasultanan Pajang, dia menjalani Ruwatan Sudamala.
Selain jumenengan Sang Adipati, malam itu juga menjadi malam peresmian Yayasan Kasultanan Keraton Pajang. Adipati Suradi kini memimpin Kasultanan Pajang, setelah dilantik secara khusus oleh Duli Yang Maha Mulia Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo. Dialah Sultan Demak, yang sejak awal meyakini Adipati Suradi adalah pewaris kerajaan yang didirikan Jaka Tingkir itu.
"Peresmian Kasultanan Pajang ini bukan sebagai upaya untuk mendirikan negara baru dan melepaskan diri dari NKRI. Jadi sudah seharusnya tidak ada yang menentang,” katanya kepada wartawan.
Dipilihnya Suradi sebagai Kanjeng Raden Adipati Kasultanan Pajang, Sri Sultan Suryo Alam mengatakan, sebenarnya ada salah satu sesepuh yang merekomendasikan Suradi menjadi Kanjeng Raden Adipati.
Selain itu, Suradi juga memiliki garis silsilah dengan Kasultanan Demak. Keyakinan itu pun tidak sembarangan. Sri Sultan Suryo Alam, mengaku memilih Suradi setelah melakukan tirakat dan lelaku meditasi. Dari ritual itu, dia menerima petunjuk untuk menerima penobatan Suradi menjadi Kanjeng Raden Adipati Kasultanan Pajang.
”Pendirian Kasultanan Pajang ini semata-mata untuk memunculkan kembali situs Karaton Pajang sebagai cagar budaya warisan Nusantara dan menggali potensi situs Cagar Budaya Keraton Pajang terutama untuk edukasi dan pariwisata,” kata Suradi.
Suasana kegembiraan pun tampak di luar Petilasan. Pasar malam juga digelar untuk memeriahkan prosesi peresmian Kasultanan Pajang. Tak hanya itu, pentas wayang semalam suntuk sebagai ungkapan rasa syukur juga digelar.
Ruwatan Kanjeng Raden Adipati Pajang – Kamis 26/05/2011
Pada hari Kamis Wage tanggal 26 Mei 2011, Yayasan Kasultanan Karaton Pajang mengadakan acara ruwat Sudomolo untuk Keraton Pajang dan berkaitan dengan diangkatnya Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro sebagai penerus dan penanggung jawab situs budaya keraton Pajang sekaligus peresmian Yayasan Kasultanan Karaton Pajang yang bertempat di Surojiwo Waterpark Makam Haji Kartasura.
Peresmian Yayasan Kasultanan Karaton Pajang – Kamis 26/05/2011
Acara ini bertujuan untuk
menunjukkan keberadaan sejarah Keraton Pajang yang juga menjadi situs cagar
budaya warisan nusantara. Visi dari kegiatan ini adalah memunculkan kembali
situs cagar budaya Keraton Pajang sebagai salah satu cagar budaya warisan
nusantara dan misinya adalah melestarikan dan menggali potensi eitus cagar budaya
keraton Pajang utamanya untuk edukasi dan pariwisata.
Pekan Syawalan Keraton Pajang – 24/08/2011
Masyarakat Jawa sangat mengenal
Tradisi Syawalan, tradisi ini menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah
Hari Raya Idul Fitri. Meruntut sejarah perkembangan tradisi budaya,perkembangan
budaya Syawalan ini dikalangan masyarakat muslim di daerah Jawa, pertama kali
diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Pajang berperan penting dalam transisi kebudayaan dari Demak menuju peradaban
Mataram. Keraton Pajang jaman dulu mampu memperadukan Islam yang dibawa para
Wali dengan budaya Kejawen di pedalaman.
Pekan Syawalan Keraton Pajang tahun 2011 kali ini sebagai langkah awal untuk merevitalisasi sejarah dan budaya. Begitu kuatnya tradisi ini melekat dalam masyarakat, sehingga Keraton Pajang memandang perlu melestarikan dan menggali potensi situs cagar budaya Keraton Pajang utamanya untuk edukasi dan pariwisata. Selain itu acara ini untuk menunjukkan dan memunculkan kembali keberadaan sejarah Keraton Pajang ysng juga menjadi situs cagar budaya warisan Nusantara.
Pekan Syawalan Keraton Pajang tahun 2011 kali ini sebagai langkah awal untuk merevitalisasi sejarah dan budaya. Begitu kuatnya tradisi ini melekat dalam masyarakat, sehingga Keraton Pajang memandang perlu melestarikan dan menggali potensi situs cagar budaya Keraton Pajang utamanya untuk edukasi dan pariwisata. Selain itu acara ini untuk menunjukkan dan memunculkan kembali keberadaan sejarah Keraton Pajang ysng juga menjadi situs cagar budaya warisan Nusantara.
Keraton Pajang Gelar Kirab Grebeg Sura – Selasa 13/11/2012
Abdi dalem Keraton Surakarta, Mbah Jarwodipuro, menjamas pusaka
berupa keris yang disimpan di Keraton Kasunanan Pajang di kompleks petilasan
Keraton Pajang, Selasa (13/11/2012) sore. Penjamasan pusaka dilakukan sebelum
pusaka tersebut dikirab saat Grebeg Sura
SUKOHARJO – Kasultanan Keraton Pajang akan menggelar Kirab Grebeg Sura, Kamis (15/11/2012) malam. Kirab tersebut digelar untuk memperingati bulan Sura 1 Muharram 1434 H.
Ketua panitia Grebeg Sura Kasultanan Keraton Pajang, Siswo Hartono, mengatakan dalam grebeg tersebut, pihak keraton akan mengeluarkan 15 benda pusaka untuk dikirab. Beberapa jenis pusaka itu yakni berupa tombak, pusaka berwujud ukiran naga dan keris pusaka milik Sultan Hadiwijaya atau sering dikenal sebagai Mas Karebet atau Jaka Tingkir.
Sebelum semua pusaka itu dikirab, sambung Siswo, terlebih dahulu semua pusaka itu dijamas di Balai Agung Keraton Pajang. Jamasan dilakukan di kopleks petilasan Keraton Pajang di Dukuh Sonojiwan, Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Selasa (13/11/2012).
Lebih lanjut Siswo mengatakan kirab akan dimulai Kamis malam sekitar pukul 19.00 WIB. Kirab akan dimulai dari Keraton Pajang, Tugu Lilin, Jl Slamet Riyadi, Pijilan, Nolodutan, Bangsren, Trisan, Sonojiwan, Jl Joko Tingkir, lalu kembali lagi ke Keraton Pajang. “Bulan Sura oleh orang Jawa adalah bulan yang sakral. Saat itulah masyarakat Jawa melakukan pembersihan diri, perenungan dan pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa. Bulan Sura juga disebut bulan syukur atas
rejeki yang sudah diberikan dan upaya penemuan jati diri agar selalu eling lan waspada,” ujar Siswo di Balai Agung Kasunanan Keraton Pajang.
Berbeda dengan kirab tahun lalu, sambung Siswo, prosesi kirab kali ini akan didukung oleh Padepokan Gumelang Tanjung Anom, Padepokan Kyai Langsur, masyarakat Linggo Tasikmadu dan warga Desa Makamhaji. Tradisi tersebut, imbuh Siswo, juga digelar sebagai upaya untuk nguri-uri budaya jawa. “Grebeg ini dilakukan untuk memperlihatkan keberadaan sejarah Keraton Pajang sebagai pengawal budaya warisan nusantara yang diwariskan oleh leluhur,” terang Siswo.
Peringatan tanggal 1 Sura – Senin 04/11/2013
Copy Paste dari Web = http://www.solopos.com ( Kandngan isi ada pada Web Sumber ).
Keraton
Pajang, Senin 04-11-2013 ( Peringatan
Malam 1 Sura )
Malam 1 Suro = 1.000 lebih Warga Nyuro di Keraton Pajang
Solo.
Solopos.com, SUKOHARJO — Sekitar 1.000 warga dari Pajang dan sekitarnya mengikuti peringatan 1 Sura atau 1 Muharam yang digelar Keraton Pajang, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Senin (04/11/2013) malam. Namun sejumlah raja dari Kelantan, Malaysia yang diundang tak ada yang hadir.
“Wakil dari Aceh dan Padang yang
kami undang juga hadir. Tetapi yang dari Kerajaan Kelantan di Malaysia tidak
bisa hadir. Sebab di sana atanya baru ada pemilu daerah. Mungkin kalau di sini
semacam pemilihan kepala daerah (pilkada),” ujar Raja Demak, Suryo Alam
Joyokusumo ketika memberi sabutan pada peringatan 1 Syuro di Keraton Pajang.
Menurut dia peringatan semacam ini
dilakukan guna memelihara budaya bangsa yang dinilai adi luhung agar tak
tergilas dengan budaya barat yang santer menyerbu Indonesia. Dikhawatirkan jika
tradisi semacam itu tak dipelihara dengan baik akan tinggal nama atau punah.
Sementara itu Adipati Keraton
Pajang, Suradi Joyonegoro menambahkan peringatan semacam ini sudah kali ketiga
digelar. Namun dia mengakui peringatan tahun ini tak semeriah tahun lalu.
Karena tahun lalu pihaknya
mengirabkan pusaka-pusaka miliknya, keliling Keraton Pajang. Karena saat ini
cuaca dinilai sedang tak bersahabat.
“Sekarang ini kalau sore hari sering
kali turun hujan. Oleh sebab itu kami memutuskan meniadakan kirab pusaka.
Sebagai gantinya kami mengadakan selawatan bersama seribuan aggota Majelis Al
Hidayah,” kata dia.
Selain itu pihaknya kemarin juga
memberi gelar kepada delapan warga sekitar yang dinilai telah berjasa kepada
Keraton Pajang. Diharapkan dengan pemberian gelar itu mereka akan lebih semagat
dalam membantu Keraton Pajang.
Jemaah pengajian Al Hidayah memenuhi
pelataran Keraton Pajang saat peringatan 1 Muharam, Senin (4/11/2013) malam.
(Iskandar/JIBI/Solopos)
Namun acara yang digelar malam
kemarin terkesan tak dirancang dengan matang. Hal itu terlihat dari sering
padamnya aliran listrik, tak jelasnya penanggung jawab sound system dan
sebagainya.
Pada bagian lain peringatan 1
Muharam yang digelar di Keraton Pajang menimbulkan tanda tanya. Sebab di sebelahnya
sejumlah warga mengadakan ritual peringatan 1 Syuro sendiri.
Mereka mengklaim letak keraton yang
tepat adalah di tempat mereka mengaedakan ritual mengganti songsong ageng
(payung besar). “Kami sengaja mengadakan acara ini di petilasan ini, sebab letak
Keraton Pajang yang benar itu yang di sini,” ujar Juru Kunci Petilasan, Edy
Djasmin Surjodiprodjo, 70, ketika ditemui secara terpisah.
Sedangkan Suradi yang diintai
konfirmasi hal ini tak mempermasalahkannya. Dia menilai ritual yang dilakukan
sejumlah warga di petilasan mendukung acaranya.
Salah satu kegiatan Keraton Pajang
pada 2013 lalu. Adipati Pajang, Kanjeng Raden Adipati, Suradi Joyonegoro
(tengah) didampingi Raja Demak, Suryo Alam Joyokusumo (kanan) mengalungkan
medali kepada penerima gelar di Keraton Pajang, Senin (04/11/2013) malam.
Adipati Pajang, Kanjeng Raden
Adipati, Suradi Joyonegoro (tengah) didampingi Raja Demak, Suryo Alam
Joyokusumo (kanan) mengalungkan medali kepada penerima gelar di Keraton Pajang,
Senin (4/11/2013) malam. Sekitar 1.000 warga dari Pajang dan sekitarnya
mengikuti peringatan 1 Sura atau 1 Muharam yang digelar Keraton Pajang,
Kecamatan Kartasura, Sukoharjo.
Adipati Pajang, Kanjeng Raden
Adipati, Suradi Joyonegoro (tengah) didampingi Raja Demak, Suryo Alam
Joyokusumo (kanan) mengalungkan medali kepada penerima gelar di Keraton Pajang,
Senin (4/11/2013) malam. Sekitar 1.000 warga dari Pajang dan sekitarnya
mengikuti peringatan 1 Sura atau 1 Muharam yang digelar Keraton Pajang,
Kecamatan Kartasura, Sukoharjo.
Wilujengan Jumenengan Sultan Pajang Ke-4, Minggu 02/03/2014
Sejumlah penari membawakan tarian di hadapan Kanjeng Raden
Adipati, Suradi Joyonegoro di Keraton Pajang, Makamhaji, Sukoharjo, Minggu
(2/3/2014). Acara tersebut bertepatan dengan peringatan Wilujengan Jumenengan
ke-4.
Solopos.com, SUKOHARJO-Keraton Kasunanan Pajang menggelar Jumenengan Kanjeng
Raden Adipati Pajang I untuk kali keempat pada Minggu (2/3/2014) malam.
Acara tersebut digelar di Kedaton
Kasultanan Pajang di Jl. Jaka Tingkir, Benawa III Sonojiwan, RT 005/RW 022,
Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Seksi acara panitia jumenengan,
Kosairi, saat ditemui Solopos.com, di lokasi acara, Minggu petang, mengatakan
acara dimulai pukul 19.00 WIB dan berakhir pukul 23.00 WIB.
Menurutnya, dalam pembukaan, para
peserta jumenengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Kami mengundang Datuk Rusli dari
Malaysia, Adipati Tuban dan tokoh-tokoh masyarakat,” jelasnya
Jumenengan Kanjeng Raden Adipati
Pajang I digelar Minggu (2/3/2014) malam. Mengenakan beskap berwarna hitam yang
dihiasi pernik-pernik berwarna emas di bagian depan beskapnya, pria yang
bergelar Kanjeng Raden Adipati Suradi Joyo Negoro itu berjalan perlahan
memasuki Dampar Kencana [semacam aula pertemuan] diiringi lagu Ilir-ilir,
Minggu (2/3) malam.
Kanjeng Raden Adipati, Suradi
Joyonegoro memasang medali pada penerima gelar di Keraton Pajang, Makamhaji,
Sukoharjo, Minggu (2/3/2014). Pemberian gelar tersebut bertepatan dengan
peringatan Wilujengan Jumenengan ke-4.
Malam itu adalah kali keempat bagi
Keraton Kasunanan Pajang menggelar Jumenengan Kanjeng Raden Adipati Pajang I di
Kedaton Kasultanan Pajang di Jl. Jaka Tingkir, Benawa III Sonojiwan, RT 005/RW
022, Makamhaji, Kartasura.
Tak lupa, lagu kebangsaan Republik
Indonesia, Indonesia Raya juga dinyanyikan setelah sang adipati menempati
singgasananya di Dampar Kecana. Seusai sambutan, para penari dari Pawiyatan
Padunungan menampilkan tarian bernama Bedaya Pancer Pajang di hadapan sang
adipati dan hadirin yang duduk rapi di sisi selatan.
Doa-doa dilantunkan dengan khidmad
dipimpin Sony Parsono. Tak berselang
lama, jumenengan dengan sebuah nasi tumpeng di bagian tengah dilakukan. Umbul
donga atau selamatan itu digelar dengan prosesi dengan tatacara adat masa
lampau.
“Kami mendoakan supaya Pajang
menjadi lebih baik,” kata sesepuh Pawiyatan Padunungan, Eko Haryanto, di sela-sela acara kepada Solopos.com.
Menurutnya, ritual jumenengan
dikonsep sedemikian rupa seperti halnya yang dijalani raja-raja di Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh Padunungan. Tujuannya, kata dia, untuk
mengembalikan cirri khas budaya adat zaman dulu.
Kanjeng Raden Adipati, Suradi
Joyonegoro memasang medali pada penerima gelar di Keraton Pajang, Makamhaji,
Sukoharjo, Minggu (2/3/2014). Pemberian gelar tersebut bertepatan dengan peringatan
Wilujengan Jumenengan ke-4. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)
Kanjeng Raden Adipati, Suradi
Joyonegoro memasang medali pada penerima gelar di Keraton Pajang, Makamhaji,
Sukoharjo, Minggu (2/3/2014). Pemberian gelar tersebut bertepatan dengan peringatan
Wilujengan Jumenengan ke-4. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)
“Supaya Pajang nanti jadi contoh
bagi kerajaan lain. Menjadi riset bagi anak cucu. Kami menggunakan simbol
caraka balik, kembali ke tempo dulu. Dalam arti, adat Jawa sudah semakin surut.
Dari sini, Padunungan mengawali untuk mengembalikan semangat untuk kembali
kepada kebudayaan dalam bentuk prosesi atau ritual,” jelasnya.
Sementara itu, Keraton Kasultanan
Pajang juga melakukan prosesi kekancingan atau pemberian gelar terhadap
orang-orang yang berjasa pada keraton. Sang adipati secara langsung menyematkan
lencana dan memberikan kalung kepada 13 orang terpilih itu.
KRA Suradi mengenakan blangkon hitam
dan pernak-pernik yang tergerai di bagian depan beskapnya. Pada bagian bawah,
ia mengenakan kain jarik berwarna coklat.
Di belakang tempatnya jumeneng
[berdiri], sebuah singgasana bermotif bunga dan ular naga di kedua sisinya
tampak kokoh. Singgasana itu berwana paduan coklat dan kuning emas. Di bagian
atas, tertulis KRAP I.
Seksi acara panitia jumenengan,
Kosairi, saat ditemui Solopos.com di lokasi acara, Minggu petang, mengatakan
acara Jumenengan Kanjeng Raden Adipati Pajang I untuk digelar kali keempat pada
Minggu malam. Ia mengaku mengundang Kanjeng Pangeran Datuk Seri Dr. Muhammad
Rusli Cek Wan dari Malaysia, Adipati Tuban dan tokoh-tokoh masyarakat.
Sementara itu, perwakilan Kesultanan
Demak, Kanjeng Pangeran Haji (KPH) Fadhil Mansyurrudin Pradotokusumo, saat
ditemui Espos di lokasi jumenengan, Minggu, menyatakan Sultan Demak, Duli Yang
Maha Mulia (DYMM) Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo mengapresiasi Kesultanan
Pajang.
Menurutnya, KRA Suradi hendaknya
meningkatkan budaya baik yang saat ini ada maupun yang akan datang. “Sultan
Demak mengharap ada sinergi antara Kesultanan Pajang dengan pemerintah setempat
khususnya untuk membangun kebudayaan,” terangnya.
Menurutnya, Kesultanan Pajang setara
dengan keraton-keraton yang ada di Nusantara. Untuk itu, menurutnya, KRA Suradi
juga harus aktif dalam pertemuan sultan dan raja se-Nusantara.
“Sultan Demak mengucapkan selamat
atas Jumenengan Kanjeng Raden Adipati Pajang I. Semoga Keraton Pajang menjadi
lebih bersinar,” harapnya.
Wilujengan Jumenengan Ke-4 Memasang Medali
Memasang
Medali pada penerima Gelar
Kanjeng Raden Adipati, Suradi
Joyonegoro memasang medali pada penerima gelar di Keraton Pajang, Makamhaji,
Sukoharjo, Minggu (2/3/2014). Pemberian gelar tersebut bertepatan dengan
peringatan Wilujengan Jumenengan ke-4.
Kolektor Data = Sutarno Dampalcom
MENU WEB DAMPALCOM SUARA KRATON ( KARATON GLAGAH
WANGI) :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar