Makam/Cungkup/Petilasan Raden Fattah/Patah (Alam Akbar Al Fattah)
Raden
Fattah/Patah (bergelar Alam Akbar Al Fattah)
Raden
Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana
Ahmad Jumadil Kubra
Web Copy Paste dari => http://www.akucintanusantaraku.blogspot.com
( Kamis, 20 Februari 2014 )
( Kamis, 20 Februari 2014 )
Makam/Cungkup/Petilasan
Raden Fattah/Patah (Alam Akbar Al Fattah)
Berada di belakang masjid Demak terdapat makam raja-raja dari kerajaan Bintoro Demak, termasuk makam Raden Patah.
Keletakan : Masjid Agung Demak berada di Desa Kauman, Demak, Jawa Tengah, Indonesia
komplek makam sultan-sultan Demak dan para abdinya, yang terbagi atas empat bagian:
Makam
Kasepuhan, yang terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I (Raden
Fatah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden
Pati Unus) dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden
Fatah, Adipati Terung (Raden Husain).
Makam
Kaneman, yang terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III (Raden
Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden Hariyo
Bagus Mukmin).
Makam
di sebelah barat Lasepuhan dan Kaneman, yang terdiri atas makam Pangeran Arya
Penangsang, Pangeran Jipang, Pangeran Arya Jenar, Pangeran Jaran Panoleh.
Makam
lainnya, seperti makam Syekh Maulana Maghribi, Pangeran Benowo, dan Singo Yudo.
Masjid
Agung Demak & Kompleks makam kerabat Kesultanan Demak
Makam Raden Fatah dan istrinya, serta Pati Unus
BUKTI BAHWA RADEN PATAH
MASIH KETURUNAN dari KERAJAAN MAJAPAHIT
Wallahualam
Pohon Maja di areal Makam Keluarga Kerajaan Demak
Masjid
Agung Demak
Keletakan : Masjid Agung Demak
berada di Desa Kauman, Demak, Jawa Tengah, Indonesia
Masjid Agung Demak adalah salah satu mesjid tertua yang ada
di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
DEMAK 07
DEMAK 08
Masjid Agung Demak, akhir abad ke-19
Masjid Agung Demak, 1920-1939
DEMAK 10
Gaya arsitektur Tajug tumpang tiga
Sejarah
Berdirinya Masjid Agung Demak
Masjid ini dipercayai menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Dewan Dakwah "Walisongo".
Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Masjid Agung Demak
Masjid ini dipercayai menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Dewan Dakwah "Walisongo".
Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Masjid Agung Demak
Masji Agung Demak : adalah sebuah mesjid yang tertua di
Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini
dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar
agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di
Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini
diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.
A. Selayang Pandang
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat memercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.
Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada tahun 1466. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid ini dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, ketika Raden Fatah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dengan dibantu masyarakat sekitar. Para wali saling membagi tugasnya masing-masing. Secara umum, para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di sebelah barat daya.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.
A. Selayang Pandang
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat memercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.
Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada tahun 1466. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid ini dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, ketika Raden Fatah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dengan dibantu masyarakat sekitar. Para wali saling membagi tugasnya masing-masing. Secara umum, para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di sebelah barat daya.
Menurut sejarah, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara
bersama-sama dalam waktu 1 (satu) malam, masjid ini didirikan pada tahun 1399
saka (1447 M) yg ditandai oleh candrasangkala (Lawang Trus Gunaningjami) sedang
pada gambar bulus yg berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun 1401
saka yang menunjukan masjid ini berdiri pada tahun 1479 M.
Soko Tatal atau Soko Guru adalah tiang utama penyangga
kerangka atap masjida yang bersusun tiga. Yang berada di barat laut
didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian
tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan
Kalijaga Demak.
bangunan dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan
bagian serambi berukuran 31 m x 15 m atap tengahnya ditopang oleh 4 (empat)
buah tiang kayu raksasa (saka guru) yamg dibuat empat wali diantara sembilan
wali, saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, saka sebelah barat daya
buatan Sunan Gunung jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang dan sedangkan
sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan
disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal),
merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga.
Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan
bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang
Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521 M) pada tahun 1520.
Pendopo / Serambi depan Masjid Demak
Soko Majapahit adalah 8 buah tiang besar di bagian serambi,
dihadiahkan oleh Prabu Brawijaya V kepada Raden Fattah tahun 1475 M.
Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan
yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut
riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah
bungkusan yang konon berisi baju hadiah dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari
langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.
Memasuki pertengahan abad XVII, ketika kerajaan Mataram berdiri, pemberontakan
pun juga mewarnai perjalanan sejarah kekuasaan raja Mataram waktu itu.
Sejarah yang sama juga melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama Raden Patah dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan. Dimasa pemerintahan raja Trenggono, walau berhasil menaklukkan Mataram dan Singasari. Tapi perlawanan perang dan pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat keyakinan Hindu. Sehingga daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Pada tahun 1548 M, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549 M). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja. Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
Sejarah yang sama juga melanda kerajaan Demak. Kekuasaan baru yang berasal dari masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama Raden Patah dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Namun keberadaan kerajaan Demak tak pernah sepi dari rongrongan pemberontakan. Dimasa pemerintahan raja Trenggono, walau berhasil menaklukkan Mataram dan Singasari. Tapi perlawanan perang dan pemberontakan tetap terjadi di beberapa daerah yang memiliki basis kuat keyakinan Hindu. Sehingga daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Pada tahun 1548 M, raja Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549 M). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan yang datangnya dari kadipaten-kadipaten. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya melakukan pemberontakan dalam bentuk gerakan melawan Arya Panangsang. Salah satu dari adipati yang memberontak itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono yang masih ada hubungan darah dengan sang raja. Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat mempercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.
Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap.
Tahap Pembangunan Pertama
Tahap Pembangunan Pertama :
adalah pada tahun 1466 M. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan
Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel.
Tahap Pembangunan Kedua
Tahap Pembangunan Kedua : adalah pada tahun 1477 M, masjid
ini dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak.
Tahap Pembangunan Ketiga
Tahap Pembangunan Ketiga : Pada tahun 1478 M, ketika Raden
Patah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan
tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini
dengan dibantu masyarakat sekitar. Para wali saling membagi tugasnya
masing-masing. Secara umum, para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang
utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin
pembuatan soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di
bagian barat laut,Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut, Sunan
Ampel membuat soko guru di bagian tenggara, dan Sunan Gunungjati membuat soko
guru di sebelah barat daya.
Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31
x 31 m2. Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran
31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m;
dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m. Serambi masjid berbentuk bangunan yang
terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 soko, yang empat di antaranya
merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid
berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang
kelilingnya berjumlah 16 buah.
Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur
khas ala Nusantara.
Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah.
Gaya arsitektur Tajug tumpang tiga
Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna,
yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam
keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki
lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang
memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.
Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman,
yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Bentuk bangunan masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah. Dan ada satu keistimewahan satu buah tiang yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal). Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreatifitas masyarakat pada saat itu.
Disamping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan masjid. Arsitektur bangunan lokal yang berkembang pada saat itu, seperti joglo, memaksimalkan bentuk limas dengan ragam variasinya.
Masjid Agung Demak berada di tengah kota dan menghadap ke alun-alun yang luas. Secara umum, pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk satu-kesatuan antara bangunan masjid, keraton, dan alun-alun yang berada di tengahnya. Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro. Diperkirakan, bekas Keraton Demak ini berada di sebelah selatan Masjid Agung dan alun-alun.
Bentuk bangunan masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah. Dan ada satu keistimewahan satu buah tiang yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal). Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreatifitas masyarakat pada saat itu.
Disamping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan masjid. Arsitektur bangunan lokal yang berkembang pada saat itu, seperti joglo, memaksimalkan bentuk limas dengan ragam variasinya.
Masjid Agung Demak berada di tengah kota dan menghadap ke alun-alun yang luas. Secara umum, pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk satu-kesatuan antara bangunan masjid, keraton, dan alun-alun yang berada di tengahnya. Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro. Diperkirakan, bekas Keraton Demak ini berada di sebelah selatan Masjid Agung dan alun-alun.
Alun –
laun di depan Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah.
Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak ±26 km dari Kota Semarang, ±25 km dari Kabupaten Kudus, dan ±35 km dari Kabupaten Jepara.
Masjid Agung Demak
Alamat : Jl. Raya Sultan Fatah no.57, Kec. Demak, Kab. Demak
Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya
para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas
penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari
Kesultanan Demak. Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat
beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana juga
terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya
Masjid Agung Demak.
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat "Pintu Bledeg", bertuliskan "Condro Sengkolo", yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat "Pintu Bledeg", bertuliskan "Condro Sengkolo", yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Arsitektur Masjid
Masjid ini adalah contoh masjid tradisonal Jawa, sehingga tak ada kubah seperti umumnya masjid masa kini. Pintu masuk utama masjid bernama Lawang Bhledeg ciptaan Ki Ageng Selo yang katanya bisa menangkal petir. Di sinipun ada condro sengkolo Nogo Mulat Saliro Wani yang melambangkan tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H.
Masjid ini adalah contoh masjid tradisonal Jawa, sehingga tak ada kubah seperti umumnya masjid masa kini. Pintu masuk utama masjid bernama Lawang Bhledeg ciptaan Ki Ageng Selo yang katanya bisa menangkal petir. Di sinipun ada condro sengkolo Nogo Mulat Saliro Wani yang melambangkan tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H.
Di halaman Masjid ada situs kolam untuk mengambil air wudhu,
saat ini tidak dipakai lagi.
Pintu Utama Masjdi Agung Demak
Di Masjid ini ada pembagian ruangan. Serambi di bagian
depan, berupa ruang terbuka tanpa dinding, ruangan dalam (tidak boleh mengambil
foto), dan tempat khusus jamaah wanita di sebelah kiri yang disebut Pawestren
dibuat pada tahun 1866 M.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat
beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di kompleks ini
juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai
riwayat Masjid Agung Demak.
Masjid Agung Demak dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan
Dunia UNESCO pada tahun 1995
Di museum ini utamanya disimpan bagian-bagian soko guru
yang rusak (sokoguru Sunan Kalijaga, sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan
Gunungjati, sokoguru Sunan Ampel), sirap, kentongan dan bedug peninggalan para
wali, dua buah gentong (tempayan besar) dari Dinasti Ming hadiah dari Putri
Campa abad XIV, pintu bledeg buatan Ki Ageng Selo yang merupakan condrosengkolo
berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani yang berarti angka tahun 1388 Saka atau 1466 M
atau 887 H, foto-foto Masjid Agung Demak tempo dulu, lampu-lampu dan peralatan
rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah dari PB I tahun 1710 M, kitab suci
Al-Quran 30 juz tulisan tangan, maket masjid Demak tahun 1845 1864 M, beberapa
prasasti kayu memuat angka tahun 1344 Saka, kayu tiang tatal buatan Sunan
Kalijaga, lampu robyong masjid Demak yang dipakai tahun 1923 1936 M.
Lawang Bhledeg ciptaan Ki Ageng Selo
Di bagian samping masjid ada ruangan kecil berfungsi sebagai
museum penyimpan benda-benda bersejarah. Di sini juga tersimpan bekas tiang
soko guru dan sirap karena masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi,
tetapi sebagian besar masih asli. Ada pula kentongan kuno dan yang
sangat menarik ada kitab tafsir Al Quran hasil tulisan tangan Sunan
Bonang yang tersimpan dalam lemari kaca.
Beduk Masjid Demak
Gerbang Keluar dari Kompleks Masjid Demak
Mungkin ini yang Anda Cari:
MENU WEB DAMPALCOM SUARA KRATON ( KARATON GLAGAH
WANGI) :